KLIKLABUANBAJO.ID| Orang yang mengolah air enau menjadi gula di Kampung Purek, Desa Pacar, Kecamatan Pacar, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), Provinsi NTT, biasa disebut Ata Pante Gola atau Ata Kokor Gola.
Air dari pohon yang oleh warga setempat menyebutnya raping itu bisa juga diolah menjadi Sopi.
Saat ini ada cukup banyak yang melakukannya. Alasan mereka bervariasi. Secara umum mereka melakukan itu karena membuat Sopi lebih mudah ketimbang gula. Harganya juga lebih mahal serta gampang dipasarkan.
Hanya sedikit orang yang bertahan untuk mengolahnya menjadi gula.
Untuk memulai proses atau tahapan di Pohon Enau, biasanya sudah mulai sejak pukul 06.30 Wita pagi.
Seperti yang dilakukan Donatus Nagut, warga Kampung Purek, Desa Pacar, Kecamatan Pacar yang telah menekuni Kokor Gola sejak 2003 silam.
Baca Juga: Berwisata ke Labuan Bajo Jangan Lupa Saksikan Kokor Gola, ini Lokasinya
Pada Rabu (9/3/2021) lalu, sebagaimana di jam yang sama pada pagi hari-hari sebelumnya, Donatus sudah mulai menapaki jalan berkelok-kelok, menerjang kayu-kayu kecil yang menjulur ke ruas jalan dengan tangan kanannya yang legam dan kuat dan tidak peduli dengan embun pagi yang dingin yang membasahi kakinya hingga selutut.
Di pundak kirinya bertengger sebilah bambu kecil yang kuat. Pada ujung belakang bambu sepanjang satu meter itu tergantung satu buah hasil karyanya yang selama ini dipakai untuk menampung air Enau. Karya itu adalah tahang sederhana. Terbuat dari satu ruas bambu berukuran besar dengan panjang satu meter yang dirapikan sedemikian rupa sehingga bisa menampung air Enau yang menetes perlahan dari tongkol pohon berumah satu tersebut.
Benda itu disebut gogong. Gogong sudah dipakai sejak dulu. Bahkan sejak awal orang mengenal kokor gola. Ukurannya beragam, tergantung seberapa banyak air Enau yang menetes. Ukuran terpanjangnya adalah dua meter yang disebut gogong rudang. Gogong yang kini dipikul Donatus berisikan air bersih sekitar dua liter. Bunyi air yang berbenturan dengan dinding gogong menemani langkahnya yang kian cepat.
Tujuannya adalah Numu, sebuah kebun yang terletak kira-kira lima ratus meter di sebelah selatan rumahnya, tempat puluhan batang Pohon Enau tumbuh besar. Di kebun ini selama belasan tahun yang telah berlalu, dia menjemput mentari pagi dengan beragam harapan.
Perjalanan dari rumah menuju Numu ditempuh dalam waktu 30 menit. Tepat pada pukul 07.00 Wita dia berdiri persis di bawah Pohon Enau yang sudah biasa dia panjat satu bulan belakang. Dia menengadah melihat dengan penuh arti gogong yang digantungnya pada tongkol Enau sore hari sebelumnya. Di batang Enau sudah tertambat sebuah bambu yang panjangnya kira-kira lima meter.
Baca Juga: Tak Banyak Wisatawan Tahu, ini Keunikan Lain Pariwisata Labuan Bajo
Bambu tersebut dipakai Donatus sebagai tangga untuk naik sampai bagian tongkol pohon. Ia menghampiri lalu menggoyang-goyang bambu itu untuk memastikan bahwa tangga sederhana yang biasa disebut rede itu masih kuat.
Dulu, banyak ata pante/kokor gola yang mengalami nasib naas jatuh dari Pohon Enau karena tidak teliti mengecek rede. Konon, musuh ata pante/kokor gola biasa mendatangkan musibah dengan cara memotong rede pada ketinggian tertentu.
Artikel Terkait
Frans Mon, Pengrajin Patung Berbahan Batu Kapur di Desa Wisata Cunca Wulang
Kisah Sukses Zainal, Sarjana Tamatan ITS Pulang Kampung jadi Petani Holtikultura
Pariwisata Labuan Bajo, Ini Catatan Penting Tokoh Nasional Rizal Ramli
Ingin Menyaksikan Tradisi Penangkapan Ikan Paus, Silahkan Datang ke Lamalera Lembata
12 Tahapan Pembuatan Kerupuk Ubi Talas, Penjelasan Mahasiswa KKN di Noa Mabar
Lima Hal yang Harus Anda Lakukan Supaya Dihargai Orang Lain
Kembang Emas di Waterfront City Labuan Bajo jadi Pusat Perhatian
Humor, Lonceng Sekolah
Humor, Misteri Sepatu Acara Nikah Sang Ibu Muda