KLIKLABUANBAJO.ID -- Berdiri berlantaikan tanah. Beratap alang-alang. Berselimutkan embun. Hidup seadanya. Makan dua kali sehari. Kadang hanya sekali.
Pada situasi terburuk saat jeri payah tak menuai hasil, terpaksa harus menahan perut lapar. Tidak makan.
Sebab untuk menyambung hidup, keluarga Nino Paskalis hanya berharap pada pendapatan hari itu. Pendapatan sehari hanya untuk makan sehari.
Baca Juga: Bacaan Kitab Suci dan Renungan Katolik Jumat 16 Desember 2022
Nino Paskalis. Buah cinta sepasang suami-istri sederhana di sebuah desa terpencil. Matanya cekung, dan sayu. Tampak jelas jari-jari tulang rusuk di punggungnya.
Para bidan desa mengkategorikan Nino Paskalis sebagai anak gizi buruk. Sebab tinggi dan berat badan tidak sinkron dengan usianya.
Ibu Nino setiap kali pulang Posyandu selalu dilanda rasa malu, sekaligus gusar. Entah bagaimana caranya ia memperbaiki gizi anaknya.
Baca Juga: Bacaan Kitab Suci dan Renungan Katolik Kamis 15 Desember 2022
Makan sehari-hari saja susah. Apalagi untuk meningkatkan gizi Nino, anak semata wayang mereka.
Ayah Nino menjatuhkan seikat kayu bakar. Mengagetkan Nino dan Ibunya. Ayah Nino lalu mendekati meja makan, membuka tutupan tempat nasi dan sayur.
Ia lalu menghela nafas panjang, sebab ibu Nino ternyata belum memasak pagi itu. Persediaan beras sudah habis.
Baca Juga: Ini Tanggapan Pemkab Mabar terhadap 7 Poin Masukan dari IHGMA NTT tentang Pariwisata Super Premium
Ibu Nino pura-pura tidak peduli dengan suaminya, sebab ia sejak tadi berusaha menenangkan Nino putranya. Nino Paskalis terus merengek minta makan.
Sampai pada akhirnya Nino ketiduran di pangkuan ibunya dengan perut masih kosong. Ibu Nino lalu mendekati suaminya, dan berterus terang jika beras sudah habis.