Oleh: Sil Joni
Orang yang 'banyak membaca', belum tentu bisa menulis dengan baik. Tetapi, seorang penulis (mereka yang terbiasa menulis), pasti seorang pembaca yang tekun. Ungkapan Latin, "qui scribit, bis legit (siapa yang menulis, membaca dua kali), mempertegas kebenaran perihal korelasi antara menulis dan membaca. Poinnya adalah membaca saja tidak cukup. Setelah 'mengkonsumsi' sekian banyak literatur bermutu, maka mesti ada waktu untuk 'mengolah kembali' pelbagai ilmu dan informasi itu dalam bentuk tulisan.
Seorang penulis 'harus membaca ulang secara kritis' pelbagai ide, gagasan, konsep, data yang diperoleh dari teks bacaan (entah pustaka maupun fakta sosial). Karena itu, rasanya tepat sekali jika dikatakan bahwa menulis itu sama dengan membaca dua kali. Pikiran kita diaktifkan ketika menulis. Ide yang kita baca dari buku, dihidupkan kembali. Aneka gagasan itu tidak 'mengendap begitu saja' dalam alam bawah sadar.
Membaca adalah sebuah tradisi yang patut diapresiasi. Tetapi, membaca tanpa menulis itu pasti tidak membuahkan hasil alias mandul. Kreativitas dan produktivitas pikiran seseorang terlihat dari hasil karyanya (baca: tulisan). Seseorang yang 'gemar membaca', tetapi tidak tertarik untuk 'membagi pengetahuannya lewat tulisan', orang itu, meminjam istilah sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Tour, selevel dengan 'hewan yang pandai' saja.
Boleh jadi, dengan banyak membaca, kita semakin pandai atau fasih berbicara. Kita mempunyai stok kosakata dan pengetahuan yang melimpah. Dengan itu, kita relatif tidak mengalami kesulitan dalam mengartikulasikan pikiran secara lisan. Namun, kepandaian semacam itu hanya bersifat temporer. Publik akan 'berdecak kagum' sesaat setelah sebuah perbincangan dihelat.
Isi atau substansi dari apa yang 'diucapkan' itu bakal lenyap bersama waktu yang berubah. Peribahasa Latin ini, 'verba volent, scripta manent', masih tetap aktual dan relevan untuk direnungkan. Bahwasannya segala yang terucap akan menguap, menghilang bersama udara. Sementara yang tertulis akan tetap ada, bersifat abadi. Dengan kata lain, kepandaian (yang terekspresi lewat ucapan) hanya dikenang sesaat.
Dengan demikian, menulis adalah tindakan 'mengawetkan' pikiran seseorang yang dipersembahkan untuk kebaikan diri dan sesama. Pramoedya menulis dengan sangat indah soal 'keunggulan' bahasa tulis daripada bahasa lisan. "Karena kau menulis...suaramu tak akan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh di kemudian hari", tulis Pram.
Teknologi digital menyodorkan media alternatif dalam menghidupkan budaya menulis itu. Buku kertas dan media cetak memang masih menjadi media yang prestisius untuk menyalurkan bakat literasi itu. Tetapi, saya kira, menulis di media sosial dalam pelbagai platform, bisa menjadi 'opsi alternatif', jika menulis buku atau menulis di media cetak, mengalami kesulitan.
Saya sendiri, sampai detik ini, belum memproduksi satu buku pun. Jika 'menulis buku' menjadi semacam 'syarat' untuk dibaptis menjadi 'penulis', maka rasanya saya belum pantas masuk dalam kelompok itu. Namun, meski hanya 'bergiat di media sosial', saya tetap konsisten untuk merawat tradisi menulis itu. Saya tidak tahu, apakah 'coretan ringan di dinding facebook' semacam ini, bisa disebut 'tulisan atau tidak'.
Bagi saya, perdebatan soal 'ruang pengaktualisasian potensi literasi' itu, tidak terlalu penting. Media apa saja, termasuk media sosial, sejauh dipakai untuk 'menyebarkan inspirasi dan kebaikan melalui tulisan', itu sudah cukup. Kendati demikian, tentu saja saya 'tertantang' untuk coba menulis ke media lain seperti buku dan media cetak.
Lebih jauh, fokus saya sebenarnya adalah bagaimana mengoptimalkan kapasitas berpikir melalui tulisan. Hanya dalam dan melalui aktivitas menulis, saya bisa berpikir dan berimajinasi secara bebas, menembus ruang waktu. Tidak penting apakah buah pikiran itu hanya mendarat di media sosial dan dibaca oleh kelompok yang terbatas. Mengaktifkan pikiran melalui tulisan jauh lebih urgen. Pikiran yang aktif mengindikasikan bahwa kita membaca teks dua kali, membaca secara serius, mendalam, kritis, dan komprehensif.***
Penulis adalah warga Manggarai Barat, NTT, Tinggal di Watu Langkas
Artikel Terkait
Sampah dan Kondom
Neka Rabo itu Minta Maaf
Tingkat Pendidikan Menjadi Tolak Ukur Belis di Manggarai
Budaya Lejong : Bentuk Penyuluhan Kearifan Lokal Khas Manggarai dalam Pemberdayaan Para Petani
Tunda Saja Dulu Penerapan Tiket Masuk TNK Rp 3,7 Juta
Ajakan Yadi Hendriana, Ketua Dewan Pers Bidang Etik Yang Tidak Etis Perlu Dipertimbangkan Untuk Dicabut
Dewan Pers Harus Mencabut Fatwa Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Yang Sesat
Potensi Kerugian Akibat Aksi Mogok Pelaku Pariwisata Labuan Bajo dan Tawaran Solusi untuk Mengatasinya
Pentingnya Stimulasi Motorik Kasar Pada Anak Usia Dini Melalui Permainan
Kokor Gola: Merawat Tradisi, Menyulam Ekonomi Keluarga