Lessons Learnt Kebijakan KBM Mulai Jam 5 Pagi

- Jumat, 10 Maret 2023 | 14:19 WIB
Largus Tamur. Lesson learnt kebijakan KBM mulai jam 5 pagi.
Largus Tamur. Lesson learnt kebijakan KBM mulai jam 5 pagi.

Oleh: Largus Tamur

 

Kebijakan kontroversial Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat yang memajukan waktu mulai Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) ke jam 5 pagi menarik untuk dikaji. Kebijakan ini menarik, karena muncul ‘out of nowhere’ tanpa prelude apapun. Satu-satunya alasan yang mendasari kebijakan ini adalah pendidikan di NTT terbelakang dan ini dibuktikan dengan absennya SMA/SMK se-NTT dalam daftar 200 unggulan di Indonesia. Dan satu-satunya tujuan kebijakan ini agar tercipta etos belajar dan disiplin dalam diri setiap anak didik.

Baca Juga: Kuda Istimewa dari NTT, Populasinya Terus Bertahan


Sekilas, tujuan kebijakan ini sangat visioner. Tetapi benarkah cara untuk menciptakan etos belajar dan disiplin dilakukan dengan memajukan jam KBM secara ekstrim seperti itu? Apakah keterbelakangan pendidikan di NTT semata-mata disebabkan oleh KBM yang ‘kesiangan’? Ataukah ada faktor lain yang membuat pendidikan kita tidak cukup jauh beranjak dari tempatnya dan karena itu tertinggal dari daerah lain? Mari kita uji.


Pertama, keprihatinan sang gubernur terhadap kualitas pendidikan di NTT harus kita hargai. Keprihatinan ini menunjukkan bahwa beliau memiliki empati atau dalam bahasanya sendiri ‘cinta’ terhadap dunia penidikan di provinsi ini. Ia memiliki cinta, tetapi apakah posisi itu serta merta membenarkan langkah terobosan yang beliau ambil? Nampaknya di titik ini, Pak Gubernur tidak melakukan kajian yang mendalam terhadap kekuatan dan kelemahan maupun kesempatan dan kesulitan yang muncul dari penerapan kebijakan ini, sebagaimana akan kita lihat dalam poin-poin analisis selanjutnya.

Baca Juga: Pondok Baca Widang Siar Hadir di Paka Golo Ndele NTT, Bagi yang Peduli Literasi Jangan Lupa Bantuan Buku


Kedua, jika selama ini jam masuk sekolah di NTT (SMA/SMK) berkisar jam 07.00 -07.30 WITA, maka mereka harus bangun pagi 60-90 menit sebelumnya (jam 05.30-06.30 WITA) agar bisa menyiapkan diri dan masuk sekolah pada titik waktu tersebut. Itu artinya, jika mereka mengikuti rekomendasi The American Academy of Sleep Medicine agar para remaja tidur 8-10 jam per 24 jam, maka mereka harus pergi tidur malam pada pukul 9. Tetapi jika mereka bangun jauh lebih awal (04.00 WITA) sebagaimana dianjurkan gubernur, maka mereka kekurangan waktu tidur dan konsekuensinya mereka mengalami sejumlah gangguan, termasuk hipertensi, obesitas dan diabetes tipe-2, gangguan fungsi kekebalan tubuh, penyakit kardiovaskular dan aritmia, gangguan suasana hati, degenerasi saraf dan demensia dan bahkan kesepian, sebagaimana ditulis oleh majalah P&T (Pharmacy & Therapeutics), Des. 2018.

Baca Juga: Ini yang Membuat Bambu NTT Sangat Diperhitungkan di Tingkat Nasional


Ketiga, analisis Pak Gubernur tidak cukup komprehensif dan terkesan reckless/ sembrono dan dangkal. Pak gubernur gagal menganalisis aneka faktor yang mempengaruhi terlambatnya derap langkah pendidikan di provinsi yang beliau pimpin. Dunia Pendidikan memerlukan kualitas SDM para pendidik dan kependidikan. Ini sebuah investasi yang tidak murah, baik untuk kesejahteraan ekonomi maupun untuk pelatihan yang berkelanjutan karena mereka harus menjadi garda depan dalam menangkap dan memahami perubahan yang lalu diaplikasikan dalam metodo dan strategi pengajaran mereka. Beliau juga perlu memahami bahwa SDM ini harus dibarengi oleh sarpras pengajaran yang memadai agar pengajaran di ruang kelas bisa mendapat relevansi simulasif dan experimental yang teruji. Dengan sarpras pendidikan yang memadai, proses belajar menjadi menyenangkan.

Di samping dua faktor terdahulu, yang tidak kalah pentingnya juga adalah ‘kerja sama tiga pihak: sekolah, orang tua dan lingkungan masyarakat. Kerja sama ini mutlak untuk memastikan sinergi, kontrol dan support terutama dari orang tua dan lingkungan terhadap kerja dan pengabdian para guru terhadap pembentukan intelektual dan karakter anak-anak mereka. Dan yang tidak kalah pentingnya, stakeholders pendidikan di segala lini harus mengedepankan pendekatan berbasis student outcomes. Artinya, perkembangan integral siswa menjadi fokus utama pendidikan. Penilaian terhadap pencapaian siswa tidak boleh semata berpatokan pada aspek akademik tetapi juga pada aspek sosial, emosional dan spiritual siswa.

Baca Juga: NTT jadi Sentra Industri Bambu Nasional, Berikut ini Penjelasannya 

Terlepas dari kelemahan-kelemahan dasar serta kekacauan yang ditimbulkan oleh kebijakan ini, hemat saya, ada beberapa poin yang harus kita petik. Pertama, keprihatinan pak gubernur harus menjadi keprihatinan kita semua. Kebijakan kontroversial nampaknya diambil di satu sisi sebagai ekspresi keputusasaan/ kekecewaan atas keterbelakangan dunia pengajaran di NTT dan di sisi lain, sebagai lecutan hasrat dan gairah tinggi untuk bergerak maju terutama untuk menciptakan etos belajar dan kerja yang tinggi. Dunia berubah sangat cepat. Ilmu pengetahuan terkini telah melahirkan teknologi-teknologi canggih yang sebagian telah mengambil alih pekerjaan manusia. Kecerdasan buatan/artificial inteligence telah menghasilkan sekian teknologi super yang bahkan bisa bekerja otonom dan mereplikasi dirinya tanpa bantuan manusia. Saking cepatnya perubahan yang berlangsung di segala bidang itu membuat manusia tidak punya pilihan lain selain beradaptasi. Dan dalam konteks inilah dibutuhkan karakter dan mental yang tangguh/ adaptif dan malleable disertai etos kerja dan belajar yang tinggi. Kita harus terus berlari. Tidak ada pilihan lain. Orang yang hanya ingin berjalan dan tidak mampu berlari akan terlindas oleh derap perubahan yang begitu cepat.

Baca Juga: Pemerintah Bangun Nursery Kopi di Sentra Kopi Indonesia Termasuk NTT, Berikut Informasi Kopi Indonesia

Kedua, disiplin dan etos belajar itu lahir dari dalam. Demikianpun perubahan mental dan mindset. Peraturan dari manapun datangnya hanyalah rangsangan yang memantik kesadaran subyek (peserta didik/ masyarakat) untuk menjadi versi terbaik dirinya. Ketika kita berbicara tentang dunia pendidikan, kita selalu mengambil negara lain sebagai contoh terbaik. Negara-negara skandinavia (Finlandia, Denmark, Swedia dan Norwegia) sering kita jadikan rujukan. Tetapi kita lupa bahwa mereka memiliki kesadaran akan etos belajar dan kerja yang tinggi. Dan kesadaran itu dibangun dan dilecut secara berkelanjutan. Jepang adalah contoh lain negara yang membangun disiplin serta etos belajar dan kerja yang sangat tinggi. Setelah dihancurkan dalam perang dunia kedua, secara heroik Jepang membangun kembali masyarakatnya dengan penekanan pada etos kerja yang tinggi, pemerintahan yang efisien dan efektif, pendidikan dengan mengedepankan STEM (Science, Technology, Engineering and Mathematics) dan budaya corporat dalam dunia kerja mereka. Jerman adalah contoh lain. Dua Kali kalah perang dunia (1914-1918 & 1939-1945) dan kewajiban membayar kerusakan akibat perang membuat negara itu kelimpungan. Tetapi itu tidak membuat negara itu jera dalam mencari versi terbaik dirinya. Ketangguhan mental dan kegigihan belajar mereka, membuat negara itu bangkit dan menjadi salah satu kekuatan dan raksasa dunia di segala lini. Singapura adalah contoh lain. Negara yang awalnya diragukan keberlangsungannya setelah dikeluarkan dari Federasi Malaysia tahun 1965 saat ini berubah menjadi salah satu negara dengan pendapatan perkapita terbesar di dunia. Salah satu faktor yang berperan dalam pencapaian level ini adalah sistem pendidikan Singapura yang fokus pada problem-solving dan inovasi selain penekanan pada ekosistem entrepreneurship pada jenjang pendidikan tingginya.

Halaman:

Editor: Servatinus Mammilianus

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Lessons Learnt Kebijakan KBM Mulai Jam 5 Pagi

Jumat, 10 Maret 2023 | 14:19 WIB

Peluang Beasiswa S2 dan S3, Berikut Informasinya

Senin, 17 Oktober 2022 | 14:27 WIB
X