Oleh: Largus Tamur 270 daerah baik tingkat I maupun tingkat II akan melangsungkan Pilkada serentak tanggal 09 Desember 2020. Ada euforia akan lahirnya kepemimpinan baru di sejumlah daerah tetapi tidak terhitung juga pesimisme akan kekelaman yang masih akan terus terjadi di begitu banyak daerah oleh krisis figur yang bertarung. Tulisan ini hanya mengupas Pilkada Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) yang juga melangsungkan pilkada pada tanggal yang sama. Bagi penulis, Mabar adalah beranda NTT, begitu dinamis sekaligus menjadi trigger pembangunan di provinsi ini oleh banyaknya penyerapan tenaga kerja lokal maupun menjadi daya tarik bagi masuknya investasi nasional maupun asing yang bukan tidak mungkin akan melebarkan sayap investasi ke daerah lain di NTT. Arena pertarungan Pilkada telah nampak di depan mata. ‘The survival of the fittest’ (yang paling pantas yang bertahan dan menang) meminjam istilah Charles Darwin kian mendekati pemenuhannya. Dan ketika umbul-umbul dan baliho para kandidat diturunkan kembali, setelah kembang terpasang, bersama dengan datangnya musim hujan di Bulan Desember, mudah-mudahan rakyat Mabar menemukan jawaban sekaligus oase atas dahaga penuh kerinduan akan kehadiran seorang pemimpin dalam diri bupati terpilih. Mengapa Pemimpin? Salah satu perdebatan dalam ranah politik sepanjang sejarah adalah konfigurasi ideal pemangku kekuasaan. Plato mengidealkan ‘philosopher–king’ (filsuf raja) sebagai pemangku kekuasaan tertinggi dalam kerajaan . Muncul juga dalam panggung politik teokrasi, ‘devout-religious’ (agamawan saleh) sebagai raja. Marxisme mendambakan seorang ‘praxis - revolusioner’ yang membalikkan diskursus filsafat dan politik dari seabrek wacana ala Hegel menjadi sangat praxis dan revolutif ala Marx, sehingga pemimpin tidak berjalan dengan imajinasi serebral semata tetapi berjalan dengan kaki – praksis. Apapun kecenderungan masyarakat atas tipologi pemimpin di setiap zaman dan aliran, yang pasti bahwa pemimpin adalah lilin yang menyala di kala gelap, energi yang mampu membangkitkan harapan di kala ada keputusasaan sekaligus pembangun jembatan ke masa depan dalam visi dan misi yang tajam sekaligus terukur. Atau meminjam alegori Plato tentang jiwa, pemimpin itu adalah seorang masinis yang keretanya ditarik oleh seekor kuda putih dan seekor kuda hitam. Masinis melambangkan pribadi rasional, visioner. Sementara kuda hitam melambangkan motivasi, gairah yang menggebu untuk bergerak (berubah). Dan kuda putih adalah lambang kemurnian diri, pengendalian dan keterbukaan pada kebenaran dan pengakuan atas realita yang dihadapi. Seabrek Persoalan Menumpuk di Mabar Mabar telah menjadi kabupaten definitif selama kurang lebih 17 tahun. Banyak perubahaan dan kemajuan fisik yang dicapai. Tetapi, kalau kita perhatikan dengan seksama, kemajuan fisik yang dicapai di Mabar menyimpan sejumlah persoalan fundamental yang harus segera dibenahi. Sumber Daya Manusia (SDM) adalah persoalan mendasar pertama yang harus segera dibenahi oleh pasangan terpilih yang akan datang. Begitu fundamental dan esensialnya aspek ini, sehingga seberapa besarpun pembangunan fisik yang dikerjakan pemerintah pusat, tidak akan berpengaruh besar terhadap kemajuan masyarakat Mabar. Sejarah dunia memberi pelajaran kepada kita semua bahwa Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah hanya akan menjadi petaka jika tidak dikelola oleh SDM yang berkualitas. Bahkan, negara dengan tingkat kualitas SDM yang bagus bisa menjadi maju tanpa harus mengandalkan kelimpahan SDA. Swis misalnya, menjadi penghasil olahan coklat tanpa memiliki pohon coklat. Bandingkan Pantai Gading dan Ghana, dua negara Afrika penghasil lebih dari 2/3 biji coklat dunia tidak berada di jajaran penghasil olahan coklat sekelas Swis. Dengan SDM yang hebat pula, Korea Selatan berhasil keluar dari lingkaran kemiskinan setelah terlibat perang saudara dengan Korea Utara, tanpa memiliki SDA yang melimpah seperti saudaranya di utara. Dan saat ini Korea Selatan bertengger di daftar negara maju. Dan masih banyak lagi contoh tentang betapa SDM unggul menciptakan perbedaan dalam persaingan global. Kita bisa membuat sebuah kajian kecil untuk melihat apakah SDM lokal Mabar siap bersaing. Coba datangi lokasi proyek pembangunan hotel/ bangunan mewah, atau mampir saja sejenak di restaurant berkelas atau hotel berkelas. Tanyakan kepada mereka berapa tenaga lokal yang terserap/ bekerja di sana dan apa posisi mereka. Jawaban mereka menyadarkan posisi SDM lokal kita saat ini. Untuk keluar dari persoalan SDM ini, bupati yang akan datang harus proaktif mengembangkan Balai Latihan Kerja (BLK) yang secara efektif melatih dan mengasah keahlian warga potensial di bidangnya masing-masing. Ini harus segera dikerjakan sebagai langkah taktis jangka pendek. Selain itu, perhatian terhadap kualitas pendidikan formal harus menjadi prioritas jangka panjang pengembangan SDM. Banyak tamatan SMK dan SMA kita, sekedar contoh, yang tidak mampu berkomunikasi dalam Bahasa Inggris. Bahkan banyak guru Bahasa Inggris yang kemampuan berbahasa Inggrisnya patut ditangisi. Walaupun SMA sederajat tidak dalam bentang wewenang bupati, tetapi karena berada dalam wilayah geografisnya, maka mutlak Bupati berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan provinsi untuk meningkatkan kualitas output lembaga pendidikan menengah atas/ sederajat di wilayahnya. Birokrasi kita juga masih buruk yang mempengaruhi roda pelayanan serta pembangunan di Mabar. Masyarakat Mabar masih melihat birokrat sebagai priyayi yang duduk manis di kursi menunggu berkas/ permohonan masyarakat mampir ke meja mereka. Ini sebuah mentalitas devian yang terpupuk di tengah-tengah masyarakat kawanan tanpa nalar kritis dan elan vital untuk maju. Ini juga dipengaruhi oleh sistem rekrutmen dan promosi yang cenderung mengandalkan kedekatan primordial seperti asal usul dan kepentingan sesaat serta mengabaikan kemampuan dan integritas. Pasangan terpilih yang akan datang harus mengembangkan sistem meritokratik dalam promosi pegawai/ pejabat di lingkungan wewenangnya. The right man has to be placed on the right place agar birokrasi kita berkualitas, efektif serta produktif. Infrastruktur juga masih menjadi pekerjaan rumah pasangan terpilih. Labuan Bajo mungkin terlihat keren dan mewah dari sisi infrastruktur, tetapi sebagian besar dari semua itu adalah program-program yang berasal dari inisiatif pemerintah pusat. Sebut saja misalnya Bandara Komodo yang kini menjadi landmark Manggarai Barat sekaligus bandara termewah untuk seluruh Provinsi NTT. Demikian juga dengan pelabuhan laut Labuan Bajo yang saat ini menjadi kebanggaan tidak hanya masyarakat Mabar tetapi juga NTT oleh kelancaran transportasi laut yang dihasilkannya. Atau jalan raya yang membelah Pulau Flores dari ujung barat sampai ujung timur juga adalah jalan negara yang seluruh operasionalnya berasal dari APBN. Tetapi situasi kemajuan fisik ini berbanding terbalik dengan program-program inisiatif pemerintah daerah Manggarai Barat. Sekedar menyebut beberapa contoh. Proyek air bersih untuk kota Labuan Bajo misalnya sampai saat ini jauh panggang dari api. Belum lagi kalau kita bicara tentang infrastruktur di wilayah pedalaman. Semuanya menjadi tantangan dan PR untuk siapapun yang terpilih. Pemimpin – Bupati Persoalan-persoalan di atas hanyalah sebagian persoalan makro yang kasatmata. Tetapi mereka menggambarkan betapa parahnya pembangunan SDM, birokrasi dan infrastuktur di Mabar. Dan jawaban terhadap persoalan ini adalah kehadiran pemimpin – bupati. Kehadiran pemimpin – bupati akan menjadi pembeda dengan sekedar pejabat-bupati yang lazim berkuasa. Pemimpin – bupati berarti pertama-tama ia adalah pemimpin dengan visi a la Lee Kuan Yew menjadikan Mabar dan Labuan Bajo sebagai the ‘livable town‘ (kota layak huni ) sekaligus ‘smart town’ (kota cerdas). Dan dengan kualitas kepemimpinannya ia mengambil ruang kekuasaan (bupati) untuk mewujudkan visi dan program-program transormatif yang bisa mengubah wajah Mabar ke taraf yang lebih baik. Pempimpin – bupati transformatif itulah jawaban sekaligus figur pemimpin yang masyarakat Mabar perlukan saat ini. Deretan Figur Cabup- Cawabup Mungkin pertanyaan menarik untuk disimak adalah bagaimana membaca sekian calon bupati/wakil bupati yang saat ini menuju gelanggang pertarungan, adakah yang paling mendekati figur pemimpin – bupati transformatif itu? Rekam jejak menjadi kriteria pertama untuk membaca apakah para calon yang ada sekarang memiliki rekam prestasi yang memadai untuk menduduki posisi pemimpin – bupati. Dan mekanisme yang bagus untuk ini adalah ‘uji publik’. Dan untuk poin ini nampaknya tidak terlalu sulit untuk merekam jejak para bakal calon yang ada, karena hampir semuanya berlatar belakang mantan pejabat publik atau politisi. Kriteria kedua, program kerja. Jika rekam jejak bertendensi retrospektif menyangkut misalnya tingkat kebersihan calon dari aneka penyakit jabatan seperti KKN, maka program kerja menjadi acuan prospektif dari visi –misi yang diusung sang calon. Di sini akan kelihatan strategi pembangunan yang para calon kembangkan serta nilai-nilai pembangunan yang mereka anut. Program kerja juga mengharuskan sang calon memiliki pisau analisis untuk membedah aneka tantangan maupun hambatan pembangunan di Mabar, termasuk di dalamnya pemetaan program pembangunan strategis yang bisa menjadi pemicu bagi pembangunan di Mabar secara khusus dan NTT secara lebih luas. Kriteria ketiga adalah visioner. Visi itu bukan sekedar mimpi. Visi adalah kekuatan masa depan yang menarik kita untuk menggapainya. Dia harus datang dari masa depan. Artinya dia bisa melihat jauh ke masa depan menggunakan variabel-variabel masa kini. Dia juga bisa berpikir global tetapi menerapkannya dalam skala lokal. Tentu diperlukan kecerdasan atau lingkungan yang cerdas untuk dapat menjadi visioner seperti ini. Selamat memikirkan dan memilih yang tepat.(*)