Oleh: Sefrianus Jemandu Guru Bahasa Inggris SMPN 3 Macang Pacar, Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Sebelum pandemi virus corona (Covid-19) melanda Indonesia, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Nadiem Anwar Makarim meluncurkan program Merdeka Belajar. Program tersebut kini sedang berjalan di tengah pandemi covid-19 demi mencerdaskan generasi penerus bangsa. Beberapa poin penting dari kebijakan medeka belajar yaitu pertama, Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) diganti dengan ujian (asesmen) yang diselenggarakan hanya oleh sekolah. Guru menilai kompetensi siswa melalui tes tertulis dan asesmen lainnya yang komprehensif. Guru dan sekolah lebih merdeka dalam menilai belajar siswa. Kedua, Ujian Nasional (UNAS) akan diubah menjadi asesmen kompetensi minimum dan survei karakter. Ujian nasional dilakukan untuk pemetaan kompetensi minimum literasi dan numerasi peserta didik/siswa serta memperkuat aplikasi pembelajaran yang diatur oleh Programme for International Student Assessment (PISA) dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS). UNAS dilakukan dikelas IV sekolah dasar (SD), kelas VIII Sekolah Menengah Pertama (SMP), kelas XI Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Ketiga, penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Guru secara bebas memilih, membuat, mengembangkan dan menggunakan format RPP atas prakarsa dan inovasi sendiri dengan tetap memasukan tiga komponen inti yakni tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran dan asesmen, sementara komponen lainnya sebagai pelengkap. Hal ini bertujuan agar guru mempunyai waktu untuk menyiapkan dan mengevaluasi proses pembelajaran secara efektif dan fleksibel. Keempat, Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) zonasi. Kebijakan PPDB lebih fleksibel untuk mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas diberbagai daerah yakni jalur zonasi minimal 50%, jalur afirmasi 15%, jalur perpindahan maksimal 5% dan jalur prestasi (sisanya 0-30%, disesuaikan dengan kondisi daerah). Di samping itu, daerah berwewenang menentukan proporsi final dan menetapkan wilaya zonasi. Tanpa bertele-tele dan menunggu waktu lama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mengeluarkan basis hukum atau peraturan yang dijadikan sebagai pijakan Program Merdeka Belajar sehingga program tersebut berjalan di atas rel hukum yang tepat. Ketiga dasar hukum tersebut yakni pertama, Permendikbud Nomor 43 tahun 2019 tentang penyelenggaraan ujian yang diselenggarakan satuan pendidikan dan ujian nasional. Kedua, surat edaran nomor 14 tahun 2019 tentang penyederhanaan rencana pelaksanaan pembelajaran dan ketiga, Permendikbud nomor 44 tahun 2019 tentang penerimaan peserta didik baru pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan. Kebijakan Merdeka Belajar patut diapresiasi. Melalui program ini, guru mendapat ruang kebebasan melakukan inovasi dan transformasi pembelajaran untuk bisa mendidik, membekali, dan menyiapkan generasi penerus bangsa. Inovasi dan kreativitas menjadi kata kunci penting untuk memastikan pembangunan Indonesia yang berkelanjutan. Selain itu, melalui program ini, biaya (cost) penyelenggaraan Ujian Nasional (UNAS) dan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) bisa dialihkan ke biaya peningkatan kompetensi guru seperti biaya pelatihan membuat media pembelajaran berbasis teknologi, juga mampu mengurangi beban administrasi guru. Selama ini, guru kerap terbebani administrasi yang ribet dan berat. Dengan Merdeka Belajar, guru lebih merdeka dan fleksible dalam mendidik, merencanakan/mendesain, melaksanakan dan mengevaluasi materi dan media pembelajaran. Bebas Berinovasi, Ketat Evaluasi Dengan program Merdeka Belajar, guru dituntut untuk melakukan sesuatu yang baru, berupa gagasan, cara, metode, barang, alat, dan teknologi, yang bisa mendatangkan nilai tambah atau keuntungan bagi guru, siswa dan masyarakat umum. Untuk meningkatkan hasil belajar dan kualitas pembelajaran, misalnya, guru perlu membuat inovasi media pembelajaran seperti video pembelajaran, modul digital, dan pemanfaatan media digital. Tuntutan ini kini sudah terfasilitasi. Melalui Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, telah menyediakan Portal Pembelajaran Rumah Belajar (http://belajar.kemdikbud.go.id). Portal ini dipenuhi konten-konten pembelajaran dan aplikasi e-pembelajaran yang dapat memudahkan siswa, guru dan masyarakat umum. Hal ini didorong oleh semangat mentransformasi pendidikan nasional sesuai perkembangan zaman. Di portal Rumah Belajar, siswa dan masyarakat umum dapat menemukan berbagai macam konten pembelajaran digital seperti sumber belajar digital, buku sekolah elektronik, modul digital, kelas maya, laboratorium maya, video pembelajaran serta karya bahasa dan Sastra untuk SD, SMP, SMA dan SMK serta masyarakat umum. Para guru bisa menggunakan portal Rumah Belajar sebagai sarana media pembelajaran digital. Melalui portal Rumah Belajar, Kemendikbud memberi kebebasan kepada guru untuk berinovasi, berkreasi serta menampilkan karya terbaik mereka di portal itu. Sebaliknya peserta didik bisa dengan mudah mengunduh secara mandiri sumber belajar digital tersebut untuk keperluan belajar secara mandiri di rumah. Hal ini membuat peserta didik dan guru tidak kaku dalam menggunakan referensi pembelajaran tetapi mereka benar merdeka dalam belajar, berkreasi dan berinovasi. Hal ini tidak berarti para guru kehilangan metode dan cara mengevaluasi peserta didik. Merdeka Belajar mengarahkan para guru untuk berinovasi, namun tetap ketat dalam mengevaluasi pembelajaran siswa. Evaluasi dilakukan untuk mengukur sejauh mana perkembangan belajar setiap siswa dan memberi solusi terhadap kendala-kendala pembelajaran yang dihadapi siswa. Misalnya kendala pemanfaatan sarana layanan digital dalam belajar. Internet jadi Kendala di Pelosok Jaringan internet adalah satu-satunya media pembelajaran yang sangat dibutuhkan. Kehadiran jaringan internet membuat ilmu pengetahuan mudah didapat dan dicari. Hal ini mengubah paradigma lama pendidikan, yakni guru merupakan satu satunya sumber belajar. Dengan kata lain guru bukan satu-satunya sumber belajar karena siswa bisa dengan mudah mengakses sumber belajar terbaru atau ilmu pengetahuan terbaru melalui internet dengan sarana media teknologi digital. Selain itu, jaringan internet membuat kegiatan pembelajaran pun kini bisa dilakukan di mana saja, kapan saja, dengan siapa saja. “Siapa saja” bisa jadi guru. Belajar dimana saja adalah sekolah. Jaringan internet juga memudahkan pendidik mengintegrasikan media berteknologi digital ke dalam proses pembelajaran, sehingga akan terjadi pembelajaran yang inovatif demi meningkatkan kualitas pembelajaran (e-learning) dan kualitas pelayanan (e-administrasi) kepada para perlanggan pendidikan yakni siswa, orang tua, dan masyarakat umum. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi para guru di pelosok. Akses internet yang masih minim, kadang nyambung, kadang putus, membuat pembelajaran digital di pelosok sulit. Kendala ini dialami oleh hampir semua sekolah di pelosok. Tidak lah heran ketika ramai terdengar kabar para guru yang harus duduk di hutan dan lembah, hanya untuk mencari sinyal internet karena tidak semua tempat di wilayahnya mampu menangkap koneksi internet yang memadai. Data yang dirilis Kemendikbud, 02 Juni 2020 bahwa ada 42.159 sekolah di Indonesia belum memiliki jaringan internet. Sekolah Dasar Sebanyak 32.911, Sekolah Menengah Pertama sebanyak 7.178, Sekolah Menengah Pertama Sebanyak 1.144 dan Sekolah Menengah Kejuruan sebanyak 923 sekolah. Lebih lanjut, survei Kemendikbud merilis secara nasional 81 % sekolah di Indonesia yang memiliki jaringan internet dan 19 % tidak memiliki jaringan internet. Selain itu, Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G Plate mengatakan dari 82.218 desa di Indonesia, ada 70.670 desa yang dijangkau internet, sementara desa dan kelurahan yang belum terjangkau internet sebanyak 12.548 desa serta 150.000 titik layanan publik yang belum dijangkau internet memadai. Meskipun kita bangga dengan semakin besarnya presentase sekolah dan desa yang sudah dijangkau jaringan internet, namun tetap saja terjadi kesenjangan antara kota dan pelosok Indonesia. Dari kedua survey diatas dapat disimpulkan bahwa tidak semua sekolah dan desa atau kelurahan di Indonesia memiliki fasilitas internet. Kebanyakan sekolah dan desa di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (Daerah 3T) belum memiliki fasilitas internet. Hal ini menyebabkan guru dan siswa di pelosok sulit berinovasi, bersaing dan mengembangkan kreativitasnya dalam memanfaatkan media pembelajaran berbasis digital sebagai sumber belajar karena belum merdekanya jaringan internet. Walaupun ada guru serta siswa berinovasi tetapi bisa dihitung dengan jari. Sementara itu, pendidik/guru di daerah perkotaan Indonesia akan semakin berkreasi, berinovasi dalam mengembangkan pembelajaran berbasis teknologi dan mengimplementasikan Program Merdeka Belajar secara fleksibel karena mereka dengan sangat mudah mencari, mengunduh dan memanfaatkan fasilitas internet sebagai media pembelajaran di sekolah. Internet Merdeka dan Pelatihan Guru Sebagai Solusi Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi yang hebat antara Kemendikbud dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Kedua kementrian ini harus berjalan seiring dan seirama untuk menghasilkan para guru yang berinovasi. Proses Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau daring akan tidak terlaksana apabila tidak ada jaringan internet sebagai salah satu sarana media pembelajaran. Sebaliknya proses pembelajaran luar jaringan (luring/offline) di wilayah yang tidak punya fasilitas signal internet tetap membutuhkan jaringan internet dalam menambah referensi pembelajaran serta mencari cara melakukan inovasi dalam pembelajaran melalui jaringan internet. Kominfo sebaiknya jangan sibuk memikirkan rencana tentang perubahan transformasi digital seperti perubahan kualitas jaringan internet dari 4G ke 5G tetapi melakukan aksi nyata atau implementasi penyebarluasan jaringan internet sampai pada wilayah terdepan, terluar dan tertinggal Indonesia. Dengan demikian, makin banyak guru dan siswa yang terampil, berkualitas, berkarakter serta bisa berinovasi dalam mengintegasikan teknologi kedalam pembelajaran. Kemendikbud diharapkan mengintesifkan pelaksanaan pelatihan pembelajaran berbasis teknologi. Literasi digital, pemanfaatan Portal Rumah belajar, bagaimana cara merancang media pembelajaran dan menggunakan media pembelajaran secara langsung kepada guru di pelosok Indonesia, perlu menjadi kerja berkelanjutan sebagai bentuk pendampingan terhadap para guru di pelosok. Sebab pelatihan dalam jaringan (Diklat Online) hanya bisa diikuti oleh para guru yang berada di zona wilayah internet memadai. Guru-guru di pelosok harus dipastikan untuk tidak hanya merdeka belajar, merdeka mengajar. Tetapi juga harus merdeka dari koneksi internet. (*)