Oleh: Aris Kapu, Mahasiswa STFK Ledalero Akhir-akhir ini, dengan munculnya pandemi Covid-19, ruang gerak manusia dibatasi. Pembatasan ruang ini tercipta demi mencegah penularan masif dari Covid-19. Adapun di Indonesia menamai hal ini dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Hal tersebut turut berdampak bagi kehidupan masyarakat luas karena tempat-tempat yang ramai tidak lagi digelar, seperti sekolah, kampus, pasar, swalayan, rumah-rumah toko, pabrik, perkantoran, restoran, dan tempat lainnya. Tutupnya tempat-tempat ramai dan fasilitas umum membuat orang berpikir untuk melakukan terobosan baru agar arus kebutuhan manusia tetap tersalur dengan baik. Cara yang paling ampuh ditempuh melalui ketersediaan layanan aplikasi berbasis daring (dalam jaringan). Hal ini mudah, karena orang tidak butuh waktu untuk berjubelan di tempat ramai, cukup dengan memesan, misalnya lewat aplikasi Lazada, dan mengklik pesanan, hingga barang pemesanan dikirimkan dalam tenggat waktu yang ditentukan. Lain lagi, kalau orang mencari bahan pelajaran sekolah atau kuliah, atau mau menyimak sebuah diskusi dan seminar, tak perlu hadir secara fisik. Cukup dengan mendaftarkan diri dalam aplikasi Zoom atau Ruangguru, orang mampu terlibat dan memenuhi hal yang mereka butuhkan. Ada juga, jika hendak berkonsultasi soal kesehatan, tinggal mengunduh aplikasi daring bernama, salah satunya, telemedicine, lalu berselancar di dalamnya dan bertanya tentang hal apa saja mengenai info terbaru dari dunia kesehatan. Disadari atau tidak, bergulirnya aktivitas layanan kebutuhan lewat daring merupakan perubahan yang mendasar atau fundamental. Tentu, perubahan ini merepresentasikan sebuah inovasi baru dalam hidup manusia. Sebab ada transisi gempar di sana. Beralih dari layanan publik yang bersifat luring (luar jaringan) menuju arah layanan serba daring. Bila ditelusuri lebih jauh, situasi seperti ini lazim disebut, disrupsi. Umumnya, wacana disrupsi selalu mengarah pada perubahan dan inovasi, lewat kehadiran sebuah gerak laju perusahaan rintisan digital. Adapun tulisan ini hendak membahas kiprah fenomena disrupsi selama pandemi (das sein), juga menelisik secara kritis sejauh mana kehadirannya berpengaruh pada masyarakat luas, khususnya di Indonesia, sembari memberikan beberapa poin unggulan dalam mengimbangi kelebihan maupun risiko dari fenomena ini, agar geliatnya tidak terpapar paham “begitu saja” oleh khalayak, melainkan melihat sesuatu yang jauh dibalik itu (das sollen). Pemahaman Singkat Tentang Disrupsi Pemahaman tentang disrupsi ini perlu diketahui lebih jelas dan mendalam melalui klarifikasi makna dan arti term. Hal tersebut akan ditopang oleh beberapa gagasan, konsep, dalam memperuncing pemahaman mengenai disrupsi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata disrupsi diartikan sebagai hal tercabut dari akarnya. Ketercerabutan itu menyangkut terjungkalnya suatu kemapanan yang dipandang normal, yang memuat berbagai nilai. Lain halnya dengan artian dari Oxford Learner’s Pocket Dictionary, kata disrupt dilihat sebagai yang menyebabkan kekacauan atau gangguan. Itu berarti, artian keduanya merujuk pada disrupsi sebagai fenomena yang menginterupsi, mengganggu aktivitas normal dan sebuah kemapanan, hingga menyebabkan kekacauan di dalamnya. Kata disrupsi turut mengambil arti di bidang bisnis. Janelle B. Hill, dalam Gartner Magazine, menjabarkan bahwa aktivitas disrupsi ini membawa strategi baru dalam bisnis, guna meningkatkan daya saing dalam pasar yang sangat kompetitif (2017:2). Itu berarti, fenomena disrupsi diartikan sebagai inovasi baru yang membawa dampak positif bagi perusahaan. Senada dengan Christensen, akademisi asal USA, lewat bukunya yang berjudul The Innovator’s Dilemma (1997), ia mencetuskan teori inovasi disrupsi, yang berorientasi pada penciptaan pasar baru, menggantikan model pasar lama. Ia memahami fenomena disrupsi sebagai inovasi yang menguntungkan dalam mengembangkan sebuah pasar yang kompetitif (Ohoitimur, 2018:145). Kemudian, Rhenald Khasali seorang Guru Besar Manajemen Universitas Indonesia juga turut memahami bahwa, disrupsi teknologi di berbagai sektor, akan mengubah pola dan gaya hidup masyarakat sehari-hari, yang berujung pada pergeseran pola industri melalui representasi fintech (Kompas.com, 19 November 2018). Dari pemahaman dan konsep tersebut, dapat dipahami bahwa, disrupsi sebenarnya sebuah perombakan, yakni menggedor kemapanan lewat inovasi. Kiblatnya di ladang bisnis sangat positif karena mengusung sebuah keuntungan dalam arena yang kompetitif. Wacana yang terkandung di dalamnya ialah sebuah strategi dan pengembangan, dan visi mumpuni dalam mengembangkan sebuah model pasar baru, mengganti model pasar lama. Disrupsi Selama Pandemi Covid-19 Di Wuhan, ketika masa karantina diberlakukan secara ketat, pihak pemerintah menggelontorkan secara serius pendanaan dan investasi yang luas untuk membangun infrastruktur digital, guna meningkatkan distribusi logistik dan untuk membantu memperkirakan perilaku konsumen terhadap segenap kebutuhan yang dibutuhkan, sehingga mereka mampu membangun jaringan pengiriman berbasis daring secara baik (TEMPO.CO, 08 April 2020). Tentu, walau kontak individu dan sosial sangat minim, kontak mereka lewat jejaring sosial sangat intens, dengan menggulirkan pelbagai kebutuhan kehendaki selama pandemi. Adapun di Indonesia, KemenKominfo telah membuat strategi pendorong digitalisasi pada tujuh sektor strategis selama pandemi, yaitu pertanian, ekonomi kreatif, pendidikan, inklusi keuangan, kesehatan, transportasi/logistik, dan pariwisata (medcom.id, 20 April 2020). Tak heran bila melalui strategi ini, rintisan aplikasi digital berbasis daring berkembang pesat melayani varian kebutuhan masyarakat luas. Bentuk strategi dan pengembangan yang dilakukan pemerintah, tentu mengarah pada sebuah inovasi baru. Inovasi ini menggantikan peran model layanan kebutuhan yang lama (luring) dengan model layanan kebutuhan yang baru (daring), yang mudah diakses, dijangkau, disertai dengan adanya penurunan harga, membuat transformasi ini digandrungi oleh banyak orang. Dibalik itu juga, upaya ini muncul akibat situasi pembelian panik dari masyarakat (panic buying), yang hendak menambah persediaan kebutuhan, sehingga inovasi disrupsi menjadi langkah menjawabi kepanikan di tengah gelimang pandemi. Jelas tak dapat dimungkiri, kehadiran disrupsi ini meraup hikmah bagi banyak orang karena memberi kemudahan dalam mengakses berbagai kebutuhan lewat representasi aplikasi daring. Orang tak perlu repot, tak perlu ribet dalam melakukan aktivitas apapun, membuat slogan work from home semakin bercokol kuat. Bahaya Geliat Disrupsi Selama Pandemi Seperti diterangkan pada awal, selain memberi dampak positif berupa kemudahan dalam akses dan transaksi, disrupsi juga turut berdampak negatif bagi kehidupan masyarakat luas selama pandemi berlangsung. Dalam rekam jejak sejarah, saat James Watt menemukan mesin uap, sebagai biang transformasi mekanisasi dalam bidang industri dan perekonomian (disebut juga sebagai situasi awal kemunculan revolusi 1.0), banyak perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara massal. Pasalnya, tenaga manusia tidak dibutuhkan diganti dengan kehadiran mesin. Hal ini tentu demi menggalang sebuah keuntungan besar bagi sebuah perusahaan, yakni efektivitas dan penghematan pembiayaan gaji bagi pekerja. Atas kejadian ini, terdapat situasi kesenjangan, antara yang kaya dan miskin, akibat mekanisasi industri yang tidak menyerap banyak tenaga kerja. Pihak perusahaan diuntungkan, sedangkan para pekerja dibiarkan begitu saja tanpa ada pertanggungjawaban humanis-etis. Sama halnya dengan kejadian di era disrupsi, sebagai representasi utama dari revolusi 4.0, corak serba internet (Internet of Things), otomasi, digitalisasi, inteligensi artifisial (AI) membingkai kehidupan, membuat efektivitas dan efesiensi semakin menaik drastis. Di Indonesia, dalam konteks pandemi Covid-19, langkah disrupsi, disadari atau tidak, telah menggerus lahan pekerjaan banyak orang. Sebab, disrupsi membuat tempat-tempat perdagangan besar seperti mal, swalayan, dan pasar tradisional menjadi sepi, bahkan ada yang telah ditutup akibat tak mampu melayani penggajian dari pekerja atau juga karena tak mampu bersaing di dunia pasar yang baru. Itu berarti, situasi ini sangat disruptif yang memang mengacaukan, bahkan membuat kolaps dan berguguran model transaksi pasar lama. Menguatnya geliat disruptif berimbas pada angka pengangguran yang membengkak selama pandemi Covid-19 mencapai 3,05 juta orang (PHK dan dirumahkan), terhitung sejak bulan Maret 2020. Diramalkan, angka ini akan terus menguat bila pandemi Covid-19 belum berakhir. Hal itu dikatakan oleh Ida Fauziyah, Menteri Tenaga Kerja, yakni akan adanya penambahan pengangguran sebanyak 5,23 juta jiwa bila virus corona terus meluas (CNBC Indonesia, 03 Juni 2020). Tentu sangat berdampak bagi aktivitas perekonomian negara. Dan bahwa, memang tak dapat disangkal bila pabrik, pasar atau perusahaan tetap menggelar aktivitas perekonomiannya, akan memicu penyebaran virus yang masif, membuat alternatif yang diambil ialah para pekerja harus dirumahkan atau melakukan PHK. Di samping angka pengangguran yang semakin membengkak, keprihatinan lain muncul dari daerah-daerah terpencil atau daerah periferi yang belum sepenuhnya dilingkupi infrastruktur yang memadai, seperti infrastruktur jaringan teknologi. Boleh saja pemerintah menggelar digitalisasi dan langkah disrupsi yang akbar demi mengefektifkan aktivitas publik, namun strateginya tidak seimbang. Menyitir Pradipta, pemerintah memberlakukan perombakan dalam berbagai sistem profesional, pendidikan, bahkan pemerintahan juga serta lini-lini perekonomian, dilangsungkan menggunakan internet, yang bagi sebagian masyarakat kota, pelajar, atau pekerja kantor tidak menjadi pertimbangan berat; namun tidak demikian bagi kelas pekerja di desa yang mengandalkan proyek lini pasar ekonomi lama (bdk. LSF Discourse, 5 Juni 2020). Selain melihat dampak disrupsi dalam relasi aktivitas perekonomian dan lapangan kerja, di bidang pendidikan juga mengalami hal yang sama. Seperti program pemerintah menerapkan pembelajaran digital (e-learning) tidak berlaku untuk seluruh sekolah atau kampus di tanah air, karena akar masalah yang sama: ketersediaan dan jaminan infrastruktur teknologi tidak memadai. Melalui masalah-masalah di atas, dapat dibaca bahwa geliat disrupsi selama pandemi di Indonesia menambah lebar ketimpangan yang sudah ada di masyarakat, dan secara tak langsung membentuk solid golongan kelas-kelas, antara kelas yang mampu dan kelas yang tidak mampu, kelas pekerja kota dan kelas pekerja desa, kelas modal dan kelas buruh. Pada dasarnya, wacana seperti ini bukan lagi soal baru di ruang publik, membuat pemerintah mesti menuntaskan pekerjaan rumah yang dari dulu belum kelar, yakni mendistribusikan jalur pembangunan dan infrastruktur yang merata ke semua wilayah Nusantara. Gerak Keterarahan Telah dikatakan oleh Yuval Noah Harari, dalam artikel berjudul “The World After Coronavirus”: They (governments) will shape not just our healthcare systems but also our economy, politics and culture. We must act quickly and decisively. We should also take into account the long-term consequences of our actions. (Financial Times, 30 Maret 2020). Artinya, setiap kebijakan, strategi yang dibuat oleh pemerintah selama masa pandemi, akan turut berdampak pada kehidupan di masa mendatang. Karena itu, perlu kecermatan dan ketangkasan dalam membuat dan mengambil keputusan serta kebijakan, karena kalau kebijakan yang diambil kurang berdasar pada pertimbangan deliberatif, publik harus siap menerima konsekuensi apapun. Sebab pada dasarnya, kebijakan publik itu berorientasi pada kepentingan, tujuan dalam masyarakat dan terikat secara kolektif (bdk. Budiarjo, Dasar-dasar Politik, 2012:19). Itu berarti setiap keputusan dan kebijakan harus menuju kepada gerak keterarahan yakni melindungi hak-hak dan tujuan yang ada dalam masyarakat. Untuk itu, poin penting yang harus digarisbawahi oleh pemerintah di tengah pandemi Covid-19 ialah merancang kebijakan, strategi, dan keputusan yang tepat juga harus merata. Distribusinya tidak boleh timpang, agar seluruh elemen masyarakat harus merasakan jaminan yang sama. Dalam persoalan tentang disrupsi ini, pemerintah mesti jeli bahwa upaya digitalisasi harus dibarengi dengan jaminan infrastruktur teknologi ke seluruh wilayah, agar geliat disrupsi tidak menambah lebar jurang kesenjangan, yang bisa mengarah pada terciptanya konflik. (*)