KaE Engki yang memiliki keahlian tersendiri untuk mengolah makanan nasi bambu dan Sayur Bozel, dibantu Patris, Cino dan Kanjeng.
Sambil masak, kami juga menikmati air pegunungan di Kolam Tiwu Wokat, mandi beberapa kali.
Selain Tiwu Wokat, masih ada spot lain yang bisa dikunjungi untuk rekreasi di sungai itu.
"Masih ada beberapa tempat lain yang bisa kita kunjungi, bisa juga masak di tempat itu untuk makan bersama," kata KaE Engki.
Volume air di Kolam Tiwu Wokat saat itu cukup tinggi karena beberapa pekan terakhir di wilayah itu diguyuri hujan.
"Tetapi walaupun di musim kemarau tetap ada air di kolam ini walaupun tidak sebanyak musim hujan," kata Cino.
Saat pulang, kami memilih jalur lain menyusuri sungai ke arah hulu, melewati kebun dengan panorama alam yang lebih menggoda, udaranya segar, tananaman pertanian seperti vanili yang berbuah cukup banyak.
Mendaki bukit kecil yang memberi sensasi tersendiri, lalu memetik sayur di salah satu kebun dan kembali ke ruas jalan umum ke arah barat tempat kendaraan diparkir, kami pulang kembali ke Watu Ata.
Mereka berharap agar satu saat Watu Ata dan Tiwu Wokat bisa menjadi satu paket obyek wisata yang layak dikunjungi wisatawan demi memajukan pertumbuhan ekonomi warga setempat.
Tentu tak ada yang tak mungkin selama asa berjalan bersama dengan upaya dan kerja keras karena Watu Ata dan Tiwu Wokat merupakan spot berpotensi yang tak bisa dipandang sebelah mata. Semoga terwujud***