Ironi Pariwisata Labuan Bajo, Hutan "Dilahap" Walau Susah Air

photo author
- Senin, 5 April 2021 | 03:12 WIB
IMG-20210328-WA0018
IMG-20210328-WA0018

LABUAN BAJO, KL--Demi pengembangan pariwisata Labuan Bajo, hutan pun "dilahap" menjadi kawasan pariwisata dengan skema penghapusan status hutan menjadi kawasan bukan hutan yaitu 400 hektar hutan Bowosie/Nggorang, Kabuaten Manggarai Barat (Mabar), NTT. Terkesan sebuah ironi yang jauh dari harapan terutama bila dikaitkan dengan isu lingkungan hidup, khususnya pelestarian sumber mata air untuk masyarakat. "Pembangunan kawasan pariwisata Labuan Bajo Flores di kawasan hutan produksi Bowosie 400 hektar ini berpotensi membawa dampak yang sangat buruk bagi sumber mata air yang ada di Kota Labuan Bajo dan sekitarnya. Hutan Bowosie merupakan area tangkapan hujan yang menjadi sumber air bagi lebih dari 10 sumber mata air yang ada di Kota Labuan Bajo dan sekitarnya," kata peneliti dari Sunspirit for Justice and Peace, Venan Haryanto, kepada KLIK LABUAN BAJO. ID, Senin (5/4/2021) pagi. Disampaikannya, dalam kota Labuan Bajo sendiri, terdapat sekitar 11 mata air yang debitnya sangat bergantung pada kelestarian Hutan Bowosie. "Ada Mata air Wae Nahi, Mata air Sernaru, Mata air Ujung Sawah Sernaru, Mata air Kampung Lancang, Mata air Wae Kesambi, Mata air Pasar Baru, Mata air Wae Kelambu, Mata air Wae Mata, Mata air Wae Mata Belakang Seminari, Mata air Ujung Bandara/Binongko, Mata Air Seminari Kententang dan Mata air Ketentang. Ini belum terhitung mata air yang tersebar hingga ke wilayah Nggorang, yang selama ini menjadi penyangga penting bagi sumber air persawahan warga yang ada di sekitar," kata Venan. Menurutnya, jika pembangunan kontroversi itu tetap dijalankan, Kota Labuan Bajo dan sekitarnya akan menjadi semakin susah mendapatkan air bersih. "Lebih dari itu, pembangunan ini makin memperlihatkan watak utama pembangunan pariwisata di Labuan Bajo selama ini yang sangat mengutamakan investasi pada satu sisi dan mengabaikan pemenuhan hak-hak dasar, salah satunya kebutuhan air bersih warga," kata Venan. Untuk diketahui, saat ini Labuan Bajo masih susah mendapatkan air bersih walaupun daerah tersebut sudah ditetapkan sebagai destinasi pariwisata super premium. Sebelumnya, salah satu tokoh agama di Labuan Bajo Romo Silvi Mongko, turut menyoroti pengembangan pariwisata di hutan itu. "Sosialisasi rencana pembangunan destinasi buatan ini yang dipropagandakan sebagai hand-made destination untuk dijadikan success story pariwisata Labuan Bajo masih bersifat elitis, menyentuh dinas dan lembaga atau kelompok elite, dan belum menyasar kepada masyarakat lokal," kata Romo Silvi kepada KLIK LABUAN BAJO. ID, Sabtu (27/3/2021). Disampaikannya, dalam konstruksi pariwisata tersebut, terlihat bahwa Taman Nasional Komodo belum cukup menjadi success story pariwisata Labuan Bajo sehingga harus mengimpor model-model pembangunan pariwisata buatan dari luar, untuk merekayasa destinasi pariwisata Labuan Bajo yang jelas-jelas berbasis ekosistem alam (nature) dan manusia (culture). "Rencana pembangunan infrastruktur destinasi tersebut berpotensi menciptakan bencana ekologis bagi masyarakat di Labuan Bajo, dan bisa mematikan sumber-sumber air tanah dan mata air yang ada," kata Romo Silvi. Terpisah, Kepala Badan Perencanaan, Pembangunan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) Hans Sodo, menjelaskan bahwa terkait hal itu yang paling utama adalah kesesuaian dengan masterplan. "Kalau dengan Pemda yang paling utama pasti terkait dengan kesesuaian dengan Masterplan pada dinas PUPR. Kami hanya mengkoordinasi saja," kata Hans. Analisis dari Divisi Penelitian Sunspirit for Justice and Peace yang turut diterima KLIK LABUAN BAJO. ID, memaparkan sejumlah hal berikut terkait pengembangan pariwisata di Hutan Bowosie. Antara lain disampaikan bahwa pada tanggal 5 April 2018, keluar Perpres nomor 32 yang antara lain mengatur perubahan status dan pemanfaatan 400 hektar hutan Bowosie/Nggorang Kabupaten Manggarai Barat, NTT menjadi kawasan pariwisata Labuan Bajo dengan skema penghapusan status hutan menjadi kawasan bukan hutan dan skema Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam (IUPSWA). Selanjutnya pada Maret 2021, di tengah situasi pandemi covid-19, ada presentasi tentang desain pembangunan bisnis pariwisata di atas lahan tersebut. Dokumen presentasi itu mengungkap berbagai jenis bisnis yang hendak dibangun di atas kawasan hutan itu. Juga tersingkap prosedur Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PDMA) di kawasan bekas hutan itu. Menariknya, sejalan dengan perubahan konstelasi hukum nasional setelah terbitnya Omnibus Law (UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja), perusahaan yang diberi izin usaha di kawasan ini dibebaskan dari kewajiban AMDAL dan dianugerahkan insentif keringanan pajak. Dari Hutan menjadi “Bukan-Hutan” menjadi “Kawasan Bisnis Esklusif” hutan seluas 400 hektar yang diubah menjadi jawasan bisnis wisata ini merupakan bagian dari hutan register 118 Bowosie yang terbentang dari batas kota Labuan Bajo di sisi barat hingga hutan lindung Mbeliling di sisi timur. Hutan ini merupakan hutan tutupan kota Labuan Bajo dan wilayah sekitarnya. Hutan ini juga merupakan wilayah tangkapan air untuk 11 mata air di dalam Kota Labuan Bajo dan sejumlah mata air lainnya di Wilayah Nggorang. Hutan ini membentang di beberapa wilayah yaitu Kampung Lancang, Wae Mata, Kaper, Merombok, Nggorang, Watu Langkas, dan Dalong. Dalam register pemerintah, status hutan ini adalah hutan produksi tetap yang beririsan dengan hutan lindung Mbeliling. Secara ekologis hutan ini memiliki sejumlah nilai penting. Lestarinya hutan yang letaknya di perbukitan kota dan kampung-kampung membantu mencegah banjir bagi kota Labuan Bajo dan sekitarnya. Hutan ini memungkinkan persediaan air bagi mata-mata air di Labuan Bajo dan Nggorang dan merupakan sumber air bagi persawahan wilayah sekitarnya. Sesuai dokumen perencanaan yang didapat oleh Sunspirit for Justice and Peace, mengungkap perencanaan bisnis di kawasan itu. Dari sisi jenis-jenis usaha/bisnis pariwisata, kawasan bisnis pariwisata ini akan dibagi ke dalam empat distrik, yaitu Cultural District, Leisure District, Wildlife District, dan Advencture District. Petama, Cultural District yang terdiri dari cultural center + performance center, Hotel + Mice4 (168 keys), Bajo Gallery, Commercial Village, Family Hotel Resort (17 Bungalow + 96 kamar. Kedua, Leisure District yang terdiri dari High-End Resort (29 Bungalow +126 Kamar), Worship Center + Pilgrimage, Forest Walk. Ketiga, Wildlife District yang terdiri dari Cliff Restaurant, Lumina Forest, Interpretation Center, Outdoor Theater, Mini Zoo dan Natural Reserve Galerry. Keempat, Adventure District yang terdiri dari High-End Glamping (Hotel glamour camping 25 keys), Lookout Point, Cable Car Line Length, Elevated Ciycling, Luge Ride, Bike Zipline. Kendati dipilah dalam 4 distrik dan diberi nama berbeda, elemen paling dominan dari bisnis yang dikembangkan di kawasan hutan ini adalah resort dan hotel, yaitu Hotal dan Mice (168 kamar) di Cultural District5. Family Hotel Resort (113 kamar: 17 Bungalow + 96 Kamar) di Cultural Distirct. High-End Resort (155 kamar: 29 Bungalow +126 Kamar) di Leisure District. High-End Glamping (Hotel Glamour Camping) dengan perkiraan jumlah kamar 25 kamar di Adventure District. Selain hotel dan resort, terdapat banyak unit bisnis lain di kawasan ini. Tidak tampak ada ruang bagi UMKM milik warga setempat sebagai pemilik dan pengelola. Terdapat sejumlah jenis usaha seperti cultural center, bajo gallery, commercial village yang tampaknya mirip dengan jenis usaha yang dikelola oleh Perumda Bidadari (BUMD Kabupaten Manggarai Barat) seperti Puncak Waringin dan Batu Cermin. Jika bisnis ini dikelola oleh pihak swasta (PMA dan PDMN) terdapat kemungkinan bahwa mereka menjadi kompetitor dari BUMN. Dibebaskan dari kewajiban Amdal dan diberi insentif keringanan pajak. Dalam dokumen menyebutkan bahwa Perusahaan-perusahaan PMA dan PMDM yang diberi kuasa berbisnis di dalam kawasan ini dibebaskan dari kewajiban mengurus Izin AMDAL/UKL-UPL serta Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Selain itu mereka diberi insentif keringanan pajak. Hingga Maret 2021, sebagian besar masyarakat (masyarakat adat, pelaku wisata, petani, nelayan, pemuda, pelajar dan mahasiswa, tokoh agama, tokoh perempuan, dll) belum mengetahui perkembangan terkini dari rencana pembangunan ini. Sebagian masyarakat yang sudah mengetahui permasalahan ini khawatir dan mengajukan beberapa keberatan. Demikian sebagian hal yang disampaikan oleh Divisi Penelitian Sunspirit for Justice and Peace. (tin)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Redaksi

Tags

Rekomendasi

Terkini

Bajo Dance Festival 2025 Disambut Hangat Warga

Rabu, 22 Oktober 2025 | 17:01 WIB

1.731 Wisatawan Mancanegara Kunjung GBC Labuan Bajo

Jumat, 10 Oktober 2025 | 06:39 WIB

Wisatawan Peminat Burung Meningkat di Labuan Bajo

Sabtu, 4 Oktober 2025 | 16:17 WIB

1.345 Wisman Berkunjung ke GBC Labuan Bajo

Senin, 11 Agustus 2025 | 07:39 WIB

Terpopuler

X