Di kamp itu, semua keturunan Yahudi diperlakukan bak musuh yang siap dihukum mati. Mereka tampak kurus, karena memang tak terurus.
Mereka tak bisa melawan, sekalipun hanya dengan berbicara, dengan menggunakan kata-kata.
Wiesel dengan sangat emosional melukiskan situasinya di kam konsentrasi demikian.
"... nyala api melahap keimananku; kesunyian malam merampas niatku untuk hidup. Api membakar jiwaku, dan berbagai mimpiku menjadi abu. Tak akan pernah aku melupakan saat-saat itu, bahkan jika aku dikutuk untuk hidup selama Tuhan…”
Penderitaan yang dialami Wiesel bisa dilihat sebagai wujud paling riil dan mungkin paling brutal dari sebuah “malum".
Malum seperti kata Agustinus merupakan situasi, dalam mana segala rupa dari kebaikan - seperti: cinta kasih, damai, – yang harusnya ada, malah alpa hadir dalam kehidupan nyata.
Di kamp konsentrasi Wiesel dan orang Yahudi lainnya mengalami malum sebagai derita paling brutal, karena bahkan harus kehilangan kata.
Ia melihat ayahnya disiksa sampai kehilangan nyawa, tetapi ia tak bisa bersuara membela. Karena di hadapan derita itu, mereka hanya punya siksa. Bahkan, kata pun tiada.
Tentang kenyataan sekeji itu, pada bagian lain karyanya, Wiesel menulis: “…celakalah kami Sekurang-kurangnya dalam satu hal musuh telah menang, yakni saat dia melakukan terhadap kami hal-hal yang tidak dapat kami lukiskan dengan kata-kata yang kami miliki…"
Wiesel menulis Malam, tidak dengan pretensi untuk mengulangnya kembali. Malam adalah kisah dunia dalam penderitaan.
Kisah itu perlu lestari dalam ingatan masa, supaya dunia tahu bahwa siksa, derita, dan apalagi perang tidak pernah menjadi sahabat bagi masa depan.